JAKARTA - Peta jalan transisi energi Indonesia menuju era bebas emisi pada 2060 semakin menegaskan pentingnya peran energi panas bumi. Sumber energi baru terbarukan (EBT) ini diyakini akan menjadi salah satu penopang utama kebutuhan listrik nasional, terutama karena kemampuannya menyediakan pasokan stabil (baseload) sepanjang waktu.
Optimisme itu disampaikan Satya Hangga Yudha Widya Putra, Tenaga Ahli Menteri ESDM Bidang Komersialisasi dan Transportasi Minyak dan Gas Bumi. Menurutnya, panas bumi adalah energi masa depan Indonesia yang tidak hanya mendukung ketahanan energi, tetapi juga memberi nilai tambah pada aspek ekonomi, sosial, hingga lingkungan.
"Saya memiliki optimisme tinggi terhadap peran energi panas bumi (geothermal) dalam peta jalan energi nasional," kata Hangga dalam keterangannya di Jakarta.
Indonesia, Pusat Panas Bumi Dunia
Sebagai negara yang berada di kawasan ring of fire, Indonesia memiliki cadangan panas bumi terbesar di dunia. Meski saat ini kapasitas terpasang (installed capacity) masih menempatkan Indonesia di posisi kedua setelah Amerika Serikat, Hangga meyakini posisi itu akan segera berubah.
“Indonesia diprediksi akan menjadi produsen panas bumi terbesar di dunia dalam 5–10 tahun ke depan,” ujarnya dalam webinar Society of Renewable Energy Cabang Universitas Andalas.
Keunggulan panas bumi dibandingkan energi bersih lainnya terletak pada kemampuannya menjadi baseload. Tidak seperti surya atau angin yang bersifat variabel dan membutuhkan penyimpanan baterai, panas bumi dapat menyuplai listrik 24 jam penuh.
“Selain itu, panas bumi menghasilkan emisi yang sangat rendah dibandingkan bahan bakar fosil,” tegasnya.
Potensi Besar, Realisasi Masih Rendah
Secara teknis, Indonesia memiliki potensi panas bumi mencapai 24 GW, atau sekitar 40 persen cadangan dunia. Namun, pemanfaatannya masih sangat terbatas dengan kapasitas terpasang baru 2,7 GW.
Hangga mengakui ada sejumlah tantangan besar yang memperlambat akselerasi. Salah satunya terkait aspek ekonomi. “Proyek panas bumi membutuhkan investasi modal yang besar untuk eksplorasi dan pengeboran, serta merupakan proyek jangka panjang 10–15 tahun untuk mencapai commercial operation date (COD),” jelasnya.
Dari sisi harga, kendala juga muncul. Meski tarif listrik panas bumi saat ini sudah lebih kompetitif, yakni sekitar 7–9 sen per kWh, pada tahap awal pengembangan harganya relatif tinggi. Kondisi ini membuat proyek kerap membutuhkan waktu lama untuk bisa menghasilkan listrik.
“Ini investasi yang lama. Bisa memakan waktu 10 tahun, 15 tahun. Jadi tidak bisa langsung onstream atau langsung menghasilkan listrik,” tambahnya.
Target RUPTL dan Strategi Pemerintah
Pemerintah tetap menaruh harapan besar pada sektor ini. Berdasarkan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), pemerintah menargetkan penambahan kapasitas panas bumi sebesar 1,1 GW hingga 2029. Jika tercapai, total kapasitas terpasang Indonesia akan mencapai 4,1 GW, bahkan diproyeksikan melampaui Amerika Serikat.
Sebagai strategi percepatan, pemerintah telah melelang 20 wilayah kerja panas bumi pada periode 2022–2024, serta memberikan 12 penugasan survei pendahuluan dan eksplorasi.
Hangga mengungkapkan, kebutuhan investasi untuk mewujudkan rencana tersebut diperkirakan mencapai Rp363,8 triliun dalam sembilan tahun mendatang. Investasi ini berpotensi menciptakan sekitar 42.700 lapangan kerja sekaligus menurunkan emisi karbon sebesar 31,1 juta ton CO2.
Manfaat Nonlistrik Panas Bumi
Selain menghasilkan listrik, pemanfaatan panas bumi juga memberikan manfaat langsung bagi masyarakat. Menurut Hangga, uap panas bumi bisa digunakan untuk mendukung sektor pangan dan ekonomi lokal.
Contoh aplikasinya adalah budi daya buah melon dengan pemanfaatan energi panas bumi, pengeringan kopi dan kentang, hingga pengembangan green hydrogen dan ekstraksi mineral seperti silika dan litium yang dapat menunjang hilirisasi industri.
Dengan demikian, panas bumi tidak hanya berperan sebagai penyedia energi bersih, tetapi juga sebagai katalisator pembangunan ekonomi lokal.
Tantangan Sosial dan Lingkungan
Meski prospeknya cerah, isu sosial dan lingkungan tetap harus menjadi perhatian serius. Hangga menekankan pentingnya aspek health, safety, security, and environment (HSSE) dalam setiap proyek.
“Kita selalu melakukan kajian studi dulu apakah layak untuk membangun pembangkit listrik, apakah feasible atau tidak,” jelasnya.
Ia menambahkan, pemerintah juga mendorong pengembangan masyarakat melalui program community development dan penyaluran bonus produksi panas bumi ke pemerintah kabupaten/kota. Langkah ini bertujuan menjaga keberlanjutan proyek sekaligus memperkuat ekonomi lokal, sebagai upaya mitigasi terhadap potensi sengketa lahan maupun dampak sosial lain.
Energi Panas Bumi dan Masa Depan NZE
Bagi Hangga, perjalanan pengembangan energi di Indonesia adalah proses kompleks dan dinamis. Karena itu, dibutuhkan kolaborasi lintas sektor, termasuk peran generasi muda yang mampu menghadirkan solusi inovatif.
“Secara keseluruhan, sektor energi Indonesia adalah ranah yang sangat kompleks dan dinamis, membutuhkan kerja sama lintas sektoral dan pemikiran yang solutif dari generasi muda untuk mencapai target energi nasional dan NZE (net zero emission) pada 2060,” ungkapnya.
Dengan segala potensi dan tantangan yang ada, panas bumi kian dipandang sebagai salah satu kunci utama transisi energi bersih Indonesia. Jika dikelola dengan tepat, energi ini akan menjadi fondasi kuat bagi kemandirian energi nasional sekaligus kontribusi nyata Indonesia dalam agenda global penurunan emisi karbon.