JAKARTA - Minum teh telah menjadi kebiasaan yang melekat dalam keseharian masyarakat Indonesia. Banyak orang terbiasa menutup waktu makan mereka dengan segelas teh hangat atau manis, karena dipercaya memberikan rasa nyaman dan menyegarkan. Namun, di balik kenikmatan tersebut, kebiasaan ini ternyata dapat menimbulkan dampak negatif bagi kesehatan jika tidak dilakukan dengan bijak. Penjelasan medis terbaru mengungkap bahwa minum teh setelah makan, terutama secara langsung, berpotensi mengganggu penyerapan beberapa zat gizi penting yang dibutuhkan tubuh.
Kebiasaan meminum teh usai makan memang bukan hal baru. Berdasarkan data riset yang pernah dilakukan oleh Litbang Kompas pada 30 Mei 2020, sekitar 70 persen responden mengaku mengonsumsi satu hingga dua cangkir teh setiap hari, sementara 17 persen lainnya bahkan minum tiga hingga lima cangkir dalam sehari. Di Indonesia sendiri, teh menjadi salah satu minuman favorit yang dikonsumsi di berbagai waktu, terutama setelah makan besar. Namun, apakah kebiasaan ini aman?
Dalam penjelasannya, Health Management Specialist dari Corporate HR Kompas Gramedia, dr. Santi, menekankan pentingnya memahami proses pencernaan sebelum memutuskan kapan waktu terbaik untuk mengonsumsi teh. Ia menjelaskan bahwa makanan yang masuk ke dalam tubuh akan berada cukup lama di dalam lambung, tergantung pada tekstur, kandungan gizi, dan seberapa baik makanan tersebut dikunyah.
“Jika seseorang makan, makanan tersebut akan berada di lambung selama beberapa saat. Durasi waktunya tergantung pada penyerapan makanan tersebut,” ujar dr. Santi.
Menurutnya, makanan bertekstur lunak dan kaya karbohidrat sederhana akan lebih cepat dicerna, sementara makanan tinggi serat, protein, dan lemak akan memerlukan waktu lebih lama di lambung sebelum akhirnya diproses di usus. Selain makanan, cairan seperti teh yang masuk bersamaan juga akan mengalami proses pencernaan yang serupa, meski lebih cepat diserap jika lambung dalam kondisi kosong. Namun, bila diminum setelah makan, teh akan bersaing dengan makanan dalam hal penyerapan.
“Cairan tetap akan lebih cepat masuk ke usus dibanding makanan, tetapi jika dikonsumsi setelah makan, maka ia akan berada di dalam lambung bersama makanan tersebut,” lanjut Santi.
Permasalahan muncul ketika kandungan dalam teh mulai berinteraksi dengan zat gizi dari makanan. Dr. Santi mengungkap bahwa teh, khususnya jenis teh hitam atau teh hijau yang umum dikonsumsi, mengandung zat theine dan oksalat. Dua kandungan inilah yang dapat menghambat penyerapan nutrisi penting seperti zat besi dan kalsium dari makanan.
“Theine pada teh dapat menghambat penyerapan zat besi, terutama yang berasal dari sumber nabati seperti sayuran dan kacang-kacangan. Kalau dikonsumsi bersama teh, maka efektivitas penyerapan zat besinya akan menurun,” ungkap Santi.
Zat besi sendiri sangat penting bagi tubuh, terutama untuk mencegah anemia atau kurang darah. Jika tubuh kekurangan zat besi, gejala seperti lemas, pusing, dan penurunan konsentrasi dapat muncul. Lebih lanjut, dr. Santi juga menyoroti kandungan oksalat dalam teh yang bisa menghambat penyerapan kalsium. Kalsium sangat vital untuk menjaga kesehatan tulang dan gigi.
“Kalsium berkaitan dengan tulang dan gigi. Kekurangan kalsium berisiko menyebabkan tulang dan gigi menjadi rapuh,” jelasnya lagi.
Gangguan penyerapan kalsium secara jangka panjang dapat meningkatkan risiko terjadinya osteoporosis atau pengeroposan tulang, serta membuat gigi lebih mudah berlubang. Oleh karena itu, dr. Santi menyarankan masyarakat untuk lebih cermat dalam menentukan waktu yang tepat untuk minum teh.
“Minum teh setelah makan tidak serta-merta buruk bagi kesehatan, tapi kita harus mengenali kondisi diri kita sendiri,” tutur Santi.
Ia menekankan bahwa bagi mereka yang memiliki risiko kekurangan zat besi atau kalsium, sebaiknya menghindari konsumsi teh langsung setelah makan. Alternatifnya, teh bisa dikonsumsi satu atau dua jam setelah makan agar tidak mengganggu proses penyerapan nutrisi. Selain itu, konsultasi ke dokter juga penting untuk mengetahui status gizi masing-masing individu.
“Kalau kamu punya risiko kekurangan zat besi atau kalsium, sebaiknya perhatikan waktu minum teh. Kemudian, segera konsultasikan juga ke dokter,” tambahnya.
Untuk pecinta teh yang tidak ingin berhenti dari kebiasaan minum teh, dr. Santi memberikan saran untuk memilih jenis teh yang lebih ramah bagi kesehatan, terutama bagi mereka yang sensitif terhadap kandungan theine. Ia menyarankan untuk beralih ke teh herbal yang tidak menggunakan daun teh, seperti teh rosella, chamomile, kayu manis, jahe, atau rempah-rempah lainnya.
“Pilihlah teh yang bukan berasal dari daun teh. Teh herbal seperti rosella, chamomile, jahe, atau kunyit lebih aman karena tidak mengandung theine,” sarannya.
Selain mengganti jenis teh, penting pula untuk memadukan makanan dengan nutrisi yang dapat membantu penyerapan zat gizi secara lebih optimal. Dr. Santi menyarankan untuk menambahkan makanan yang mengandung vitamin C seperti jeruk, tomat, atau paprika jika seseorang tetap ingin mengonsumsi teh bersamaan dengan makanan yang mengandung zat besi nabati.
“Vitamin C dapat membantu penyerapan zat besi. Jadi, jika kamu makan makanan tinggi zat besi nabati dan tetap ingin minum teh, tambahkan vitamin C dari sumber alami,” terang Santi.
Sementara untuk zat besi hewani seperti yang terdapat dalam daging merah atau ikan, interaksi dengan teh cenderung lebih kecil dan tidak terlalu berdampak terhadap penyerapan zat tersebut.
Dengan begitu, kebiasaan minum teh setelah makan memang tidak sepenuhnya harus ditinggalkan. Yang terpenting adalah memahami tubuh sendiri, mengenali kondisi kesehatan pribadi, dan melakukan kebiasaan ini secara bijak. Bagi sebagian orang, terutama yang rentan terhadap kekurangan zat besi atau kalsium, menghindari teh setelah makan adalah langkah preventif yang baik.
Minum teh adalah budaya yang menyenangkan dan memiliki banyak manfaat, tetapi kebiasaan ini juga harus diseimbangkan dengan pengetahuan tentang gizi dan pencernaan agar tidak menimbulkan efek samping jangka panjang. Kesadaran masyarakat akan pentingnya timing konsumsi teh diharapkan dapat membantu meningkatkan kesehatan secara menyeluruh di tengah tren konsumsi minuman teh yang terus meningkat di Indonesia.